Ada sesuatu yang magis dari sebuah bunga. Ia tumbuh diam-diam, tanpa suara, tanpa banyak menuntut perhatian tapi ketika mekar, semua mata tertuju padanya. Sebuah bunga tidak pernah tergesa-gesa; ia tahu kapan waktunya tumbuh, kapan harus menahan diri, dan kapan menunjukkan keindahan yang disimpannya selama ini.
Bunga, dalam kesederhanaannya, menyimpan banyak cerita. Ia tumbuh dari tanah yang sama dengan rumput liar, terkena hujan, panas, dan angin yang sama, tapi entah bagaimana, ia tetap memilih untuk menjadi indah. Ia tidak iri pada pohon besar di sampingnya yang menjulang tinggi, atau pada daun-daun lain yang lebih banyak mendapat sinar matahari. Ia hanya ingin mekar menjadi dirinya sendiri, seutuhnya.
Mungkin, di situlah letak pesonanya. Bunga tidak mencoba menjadi apa pun selain dirinya. Ia tidak peduli seberapa lama orang akan memperhatikannya, karena ia tahu keindahan sejatinya hanya bertahan sebentar. Tapi justru di situlah nilainya. Keindahan yang singkat sering kali lebih berkesan daripada yang abadi. Ia mengajarkan kita untuk menghargai waktu, untuk menikmati keindahan yang hadir sebentar sebelum akhirnya layu.
Dan ketika ia akhirnya gugur, bunga tidak benar-benar hilang. Kelopak yang jatuh menjadi bagian dari tanah, menyuburkan kehidupan baru. Ia pergi dengan tenang, meninggalkan jejak yang sederhana tapi bermakna sama seperti banyak hal indah dalam hidup yang datang dan pergi dengan cara lembut.
Sebuah bunga tidak butuh tepuk tangan, tidak butuh pengakuan. Ia hanya ingin tumbuh, mekar, dan memberikan sedikit warna di dunia yang kadang terlalu kelabu. Mungkin, kita pun seharusnya belajar darinya untuk tumbuh dengan tenang, memberi keindahan dengan tulus, dan tetap menjadi diri sendiri meskipun dunia tak selalu memperhatikan.