Malam itu, dia duduk di teras rumah, hanya ditemani secangkir teh hangat dan suara jangkrik yang berisik di kejauhan. Udara sedikit dingin, tapi tidak mengganggu. Matanya menatap ke atas, ke langit malam yang terbentang luas gelap, tapi indah. Tak ada yang lebih menenangkan daripada memandangi bintang-bintang yang diam diam berkedip di antara awan yang pelan lewat.

Langit malam punya cara tersendiri untuk membuat manusia merasa kecil, tapi bukan berarti tidak berarti. Justru di situ, di balik sunyinya, tersimpan banyak cerita yang tidak perlu diceritakan. Seolah langit ingin bilang, “Tenang saja, kamu tidak sendiri. Aku di sini, menemani.” Kadang, cukup dengan duduk diam dan memandangi bintang, hati yang sempat penuh bisa kembali lapang.

Ia ingat masa kecilnya, saat langit malam adalah tempat paling ajaib di dunia. Dulu, ia sering berbaring di halaman bersama teman atau keluarga, menebak nebak bentuk rasi bintang, atau berharap ada bintang jatuh yang bisa dimintai harapan. Sekarang semua itu mungkin sudah berubah. Teman-temannya sibuk, keluarganya pun tak lagi selalu ada. Tapi langit? Ia tetap sama. Tetap setia muncul setiap malam, membawa ketenangan yang tak pernah berubah.

Bagi sebagian orang, malam adalah saat yang sepi. Tapi baginya, justru malam adalah waktu yang paling jujur. Di siang hari, semua sibuk jadi orang lain, berpura pura kuat, ceria, atau tak peduli. Tapi saat malam tiba dan semuanya mulai diam, barulah hati bicara sejujurnya. Dan langit malam seolah menjadi saksi bisu atas semua itu atas lelah yang disembunyikan, rindu yang tak pernah dikirimkan, dan doa-doa yang hanya terdengar oleh bintang.

Malam itu, dia tak berkata apa-apa. Hanya duduk, memandangi langit, dan merasa… tenang. Karena meskipun hidup tak selalu mudah, langit malam selalu hadir, memberi ruang untuk bernapas, dan mengingatkan bahwa segala sesuatu akan berlalu, seperti malam yang akan digantikan pagi.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *